POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMILU

Avatar

Oleh Ayu Megasari (Ketua Netfid Lampung)

Negara demokrasi memiliki ciri yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan maupun partisipasi politik. Aspek penting dari sebuah demokrasi adalah partisipasi politik (LINDO,2016)

Partisipasi Politik ialah kegiatan individu atau kelompok dalam berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik, baik itu dalam proses pemilihan umum dapat juga dilakukan secara langsung tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik.

Salah satu aspek penting yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu adalah keterlibatan khusus perempuan dalam bidang penyelenggaraan Pemilu dan kepengurusan partai politik.

Upaya ini memberikan ruang dan kesetaraan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam proses politik khususnya terkait keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen maupun kepengurusan partai politik.

Hak Politik Perempuan.

Menurut Chusnul Mari’iah, demokrasi pada dasarnya adalah people rule dan dalam bentuk pemerintahan yang demokratis, setiap warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan ( Jurnal Analisis Sosial, 2001).

Sehingga pemilu sebagai salah satu instrumen dalam memilih pemimpin pada lembaga pemerintahan dan perwakilan mengharuskan keterlibatan masyarakat dan khususnya perempuan dalam pemilu. Dalam aspek wacana dan regulasi, upaya mendorong hak politik dan keterlibatan masyarakat khususnya perempuan dalam pemilu.

Dalam aspek wacana dan regulasi, upaya mendorong hak politik dan keterlibatan perempuan dalam politik telah dilakukan, baik melalui konsensus HAM internasional, UUD 1945 serta peraturan lainnya yang mengakomodasi perempuan dalam ranah kelembagaan negara, baik pemerintahan dan perwakilan melalui wacana affirmative action.

Pengarusutamaan Gender (PUG) maupun kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik.

Pada dasarnya partisipasi politik perempuan adalah kegiatan sukarela kaum perempuan yang tergabung dalam komunitas kaukus perempuan politik. Kaukus ini terdiri berbagai unsur, antara lain pemerhati politik, aktivis perempuan, dosen, perempuan parlemen, kader perempuan partai politik dan sebagainya, sehingga dalam kaukus ini mereka mengambil bagian pada proses pemilihan penguasa, baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Secara umum, partisipasi tidak hanya dalam bidang politik. Akan tetapi di segala bidang kehidupan. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta atau berpartisipasi aktif sehingga dibutuhkan perjuangan keras dan keseluruhan dari segenap perempuan dalam segala lini, terlebih pada lini politik yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan (Warjiyanti, 2016)

Konteks lokal.

Dalam ranah politik contohnya adalah adanya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Indonesia telah mengakomodir peran perempuan dalam politik, sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 2008 dan UU No. 7 Tahun 2017. Meskipun demikian dalam realitanya justru berbanding terbalik, keterlibatan perempuan dalam bidang politik sebagai anggota legislatif belum terlaksana secara maksimal.

Ketika melihat data dan kajian terkait keterlibatan perempuan di Provinsi Lampung dalam pemilu maupun pilkada , secara presentase tidak menyentuh angka 30 persen bahkan di beberapa kabupaten kota yang menyentuh angka 1 persen keterwakilan perempuan di parlemen.

Affirmative action merupakan sebuah kesempatan besar dalam mendorong kaum perempuan menentukan dan memperjuangkan hak –hak politiknya, bukan hanya kebebasan memilih calon memimpin dan wakil rakyat antar sesama perempuan,tetapi sejauh mana kesadaran bertahap pemilu dan pilkada mempengaruhi keberlangsungan dan kesejahteraan kaum perempuan.

Pemilu seharusnya menawarkan pilihan yang beragam diantara gagasan-gagasan yang bersaing. Namun yang terjadi saat ini pilihan itu menyusut, perbedaan antar partai menjadi kabur, dan pemilih tidak dapat meminta pertanggungjawaban politisi atas tindakan mereka.

Jika demokrasi dilihat sebatas yang terjadi di parlemen, maka definisi demokrasi menjadi sempit. Demokrasi bukan hanya sebatas pemilu, ia mencakup adanya kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, berserikat, adanya perlindungan bagi minoritas, serta mencakup aspek sosial dan ekonomi, bukan hanya politik (Anita Dhewy,2016 ).

Selain itu partisipasi politik perempuan adalah stereotype gender yang berkaitan dengan masalah perempuan dan politik, khusunya dalam hal kepemimpinan politik, dimana stereotipe ini memiliki dua kategori yaitu, perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dunia politik, dan yang lebih khusus lagi duduk di dalam posisi kepemimpinan politik, dan tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan otoritas harus mampu segalanya.

Harapan akan tumbuhnya kesadaran perempuan tak lagi berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek. Seperti uang dan kekuasaan, kompensasi politik yang bersifat individu, termasuk stereotipe gender ataupun konstruksi sosial yang menghambat kaum perempuan dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya yang sangat menentukan keberlangsungan kesejahteraan mereka dapat dilakukan secara gradual, khususnya pemilu mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Redaksi